BERBAGAI TEORI DAN ASUMSI
DALAM MOTIVASI KERJA
Oleh: Mohammad Iqbal
A. Pendahuluan
Sejarah pengembangan studi tentang motivasi dapat ditelusuri melalui tulisan-tulisan para filosof Yunani kuno. Lebih dari dua puluh abad yang lalu, mereka telah menyumbangkan pemikiran hedonisme sebagi suatu usaha untuk menjelaskan tentang motivasi. Konsep hedonisme ini menyatakan bahwa seseorang mempunyai kecenderungan untuk mencari kesenangan serta menghindari kesusahan. Pemikiran ini kemudian menjadi asumsi dasar dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi.
Menurut William James yang dikenal sebagai bapak psikologi Amerika, dalam bukunya Principle of Psychology, ia mengemukakan tentang konsep motivasi, yaitu:
1. Sadar.
2. Insting (menangis, keingintahuan, perbuatan meniru, simpati)
3. Motivasi di bawah sadar, konsep ini sebenarnya berasal dari Sigmund Freud, ia menyatakan bahwa banyak orang yang tidak bisa mengungkapkan motivasinya untuk mencapai suatu tujuan. (Miftah Toha, 2003:204-205)
Sedangkan Athinson menyebutkan beberapa teori tentang motivasi, antara lain:
1. Teori Insting.
2. Teori Dorongan.
3. Teori Insentif.
4. Teori Psikoanalitik.
5. Teori Belajar Sosial. (Rahman, 1993:314)
Sedangkan menurut Nimran, ada 2 fokus yang melatarbelakangi teori motivasi, yaitu :
1. Teori Kebutuhan
2. Teori Proses
B. Pembahasan
Sebelum kita memasuki pengertian tentang motivasi, perlu kita ketahui hal-hal yang mempengaruhi perilaku seorang manusia dalam setiap aspek kehidupannya. Perilaku tersebut pada hakikatnya adalah berorientasi pada tujuan, dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dipicu oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Satuan dasar dari setiap perilaku adalah kegiatan, jadi perilaku adalah rangkaian aktifitas-aktifitas atau kegiatan.
Jika perilaku dikaji lebih lanjut, ada beberapa unsur pokok yang saling berinteraksi, yaitu motivasi dan tujuan, atau menurut Fred Luthans, terdiri atas:
1. Kebutuhan (need).
2. Dorongan (drive).
3. Tujuan (goal).
Yang mana motivasi itu sendiri meliputi kebutuhan (need) dan dorongan (impuls).
Perbedaan kemauan kerja seseorang dengan yang lain tergantung pada motivasinya, sedangkan motivasi tergantung pada kekuatan motivasi itu sendiri, sehingga menimbulkan dorongan dan berusaha untuk mencapai tujuan, baik sadar maupun tidak. Dari sinilah timbul tingkah laku yang mengendalikan dan menetapkan arah yang harus ditempuh. Sedangkan tujuan adalah sesuatu yang berada di luar individu dan hendak dicapai. Bisa diartikan sebagai suatu harapan untuk mendapatkan penghargaan sebagai suatu arah yang dikehendaki oleh motivasi itu sendiri. Tujuan adalah akhir dari suatu lingkaran motivasi yang mengandung semua kegiatan untuk mencapainya (Miftah Toha, 2003:207-208).
Jadi dengan melihat ketiga karakteristik pokok motivasi di atas, dapat didefinisikan bahwa motivasi adalah keadaan di mana usaha dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil tertentu, bisa berupa produktifitas, kehadiran, atau perilaku kerja keratifnya. (Umar Nimran, 1999:46)
Kita mengetahui bahwa motivasi, kebutuhan, atau dorongan, membuat orang bertingkah laku. Besar kebutuhan itu bervariasi di antara manusia, mulai dari yang sederhana, hingga yang lebih kompleks, yang ditentukan antara lain oleh:
1. Tercapainya suatu kepuasan. Orang yang haus termotivasi untuk mencari minuman, maka dia berusaha mendapatkan air, ketika telah hilang dahaganya setelah minum, hilang pula motivasinya untuk mencari minuman.
2. Terhalangnya pencapaian kepuasan. Seseorang yang tengah dihadapkan pada usaha memilih suatu keputusan dengan cara mencoba-coba demi tujuannya.
3. Perbedaan kognisi. Perbedaan kognisi mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu, perbedaan tersebut antara lain: ketidakserasian, ketidakharmonisan, ketidakselarasan, serta adanya kontradiksi antara dua hal yang muncul secara bersamaan.
4. Frustasi. Akibat timbulnya frustasi, kekuatan kebutuhan berubah dan cenderung menurun.
5. Kekuatan motivasi bertambah. Perilaku akan bertambah jika kebutuhan-kebutuhan yang menarik bertambah. (Miftah Toha , 2003: 214)
Kebutuhan yang berkekuatan tinggi, menimbulkan aktifitas, yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Aktifitas ke arah tujuan. Yaitu orang dimotivasi ke arah pencapaian tujuan. Contoh: murid yang ingin pandai berbahasa Inggris, dirinya ingin mempelajarinya dengan baik, aktifitasnya adalah pergi menuju ke toko buku, membeli buku, kemudian membaca buku tersebut.
2. Aktifitas tujuan. Yaitu aktifitas yang terikat pada tujuan itu sendiri. Contoh: berbahasa Inggris itu sendiri.
Perbedaan dari kedua hal di atas terletak pada pengaruh kekuatan kebutuhan, pada aktifitas ke arah tujuan. Kebutuhan seseorang cenderung naik selama aktifitasnya terikat ke arah tujuan, atau mungkin justru sebaliknya, menimbulkan frustasi jika selalu mendapatkan halangan sehingga kekuatan kebutuhan tersebut menurun, bahkan berakibat gagal. Timbul pertanyaan, manakah yang lebih baik?
Bersandar pada salah satu model aktifitas secara terus menerus tidaklah baik, melainkan harus dengan kombinasi, sebab terikat dengan salah satu kondisi aktifitas akan menimbulkan masalah baru, berlama-lama dalam aktifitas ke arah tujuan dapat menjadi frustasi dan stagnan. Contoh: seorang dosen ingin menjadi wakil rektor dengan berbagai usaha yang memakan waktu amat lama, seperti memberi janji, tampil optimal, menyebarkan pengaruhnya, tetapi semua itu ternyata belum dapat mewujudkan cita-citanya. Sehingga akan muncul frustasi, berbuat nekad serta tidak rasional seperti menebar isu-isu.
Demikian juga dengan berlama-lama pada aktifitas tujuan, bisa menyebabkan kejenuhan karena tidak lagi terpicu untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan, sehingga perhatiannya akan menyusut dan rasa apatis bisa berkembang dengan subur. (Miftah Toha, 2003:218) Contohnya adalah ketika siswa mendapatkan nilai cuma-cuma yang cukup lumayan dari gurunya secara terus menerus dalam setiap tugas yang bersifat sekedar untuk memenuhi formalitas, ia akan meremehkan setiap tugas yang dibebankan kepadanya karena adanya anggapan semula, yaitu dikerjakan atau tidak, pasti mendapat nilai yang sama. Maka harus ada faktor pemicu yang bersifat kontinyu, dengan mengadakan evaluasi dan perubahan. Contoh: prestasi guru harus diimbangi dengan adanya hak dan kewajiban, serta tujuan yang nyata.
Hirarki kebutuhan merupakan suatu pola tipikal yang bisa dilaksanakan pada hampir setiap waktu. Pemenuhan kebutuhan yang satu akan menimbulkan pemenuhan kebutuhan yang lain. Contoh: ketika orang telah memiliki rumah maka muncul kebutuhan tentang keamanan, maka muncullah anjing penjaga, pagar teralis besi dengan kawat berduri, lengkap dengan aliran listrik. Biasanya kebutuhan ini dipengaruhi oleh pola-pola yang konstruktif. Teori ini banyak dikembangkan oleh Abraham Maslow, ia menyatakan bahwa perilaku seseorang biasanya ditentukan oleh kebutuhannya yang paling kuat, sehingga menurutnya, nampak adanya semacam hirarki yang mengatur dengan sendirinya segala kebutuhan yang ada.
Kebutuhan yang paling mendasar bagi seseorang adalah kebutuhan fisiologis, seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium, uang transport, perumahan dan sebagainya. Setelah hal ini terpenuhi, akan muncul kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan keamanan, seperti jaminan masa pensiun, jaminan kecelakasan dan sakit, jaminan asuransi. Ketika semua telah terpenuhi, muncullah kebutuhan lain, seperti kebutuhan sosial. Contohnya: ikut serta dalam sebuah organisasi, menjadi ketua organisasi. Jika tercapai, timbullah kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan penghargaan, dengan keinginan untuk menampakkan status, mendapat promosi dan sebagainya. Setelah semua tercapai, tinggallah kebutuhan yang paling tinggi, yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasi diri, tanpa dipengaruhi oleh pujian dan hal-hal lain, hanya sekedar ingin meraih optimalitas kemampuan sendiri.
Walaupun Maslow tidak bermaksud bahwa teorinya masuk dalam penerapan motivasi kerja secara langsung, tetapi teori ini memiliki dampak yang amat menakjubkan terhadap pendekatan manajemen modern tentang motivasi kerja (Miftah Toha, 2003 221-230). (Sondang, 2004:146-161)
Beberapa ilmuwan mengemukakan teori tentang motivasi sebagai berikut:
1. Teori Herzberg. Teori ini berdasarkan dua aspek yang berpengaruh pada diri seseorang dalam menjalankan tugasnya. Ada kepuasan dalam bekerja yang disebut Motivator dan ada ketidakpuasan yang disebut Higiene. Faktor Higiene dalam sebuah lingkungan organisasi seperti upah, gaji, honor, kondisi tempat kerja dan pengawasan, sebenarnya kurang bisa membangkitkan semangat kerja. Justru faktor motivator yang banyak berpengaruh, seperti keberhasilan, penghargaan, faktor pekerjaannya sendiri, rasa tanggung jawab, faktor peningkatan, atau sifat-sifat intrinsik yang bila dikembangkan dapat menimbulkan motivasi (Sondang, 2004: 164). (Miftah Toha, 2003: 320)
2. Teori Alderfer (ERG Theory). Menurut Alderfer, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi adalah:
- Existence need (kebutuhan akan keberadaan).
- Relatedness need (kebutuhan akan perhubungan).
- Growth need (kebutuhan akan berkembang). (Umar Nimran, 1999: 47)
Sebenarnya unsur kebutuhan keberadaannya sama dengan kebutuhan fisik dan psikologi dari Maslow, sama pula dengan faktor higiene dari Herzberg. Kebutuhan berhubungan adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan antar sesama, bekerja sama dengan orang lain. Hal ini pun sama dengan kebutuhan sosial menurut teori Maslow dan Higiene dari Herzberg. Adapun kebutuhan berkembang adalah kebutuhan yang berhubungan faktor intrinsik seseorang untuk mengembangkan dirinya, hal ini sama dengan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri dalam teori Maslow maupun Herzberg. Teori ini dalam perkembangannya kemudian dirasakan masih terlalu umum, kurang memberikan penjelasan atas kompleksitas teori motivasi dan kurang bisa diterjemahkan dalam manajemen praktis. (Miftah Toha, 2003: 235)
3. Teori Motivasi Prestasi Mc Clelland. Menurutnya manusia pada umumnya memiliki kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Selama ia memiliki keinginan untuk berkarya dan mencapai prestasi yang lebih tinggi, itu berarti ia memiliki motivasi. (Miftah Toha, 2003: 235)
Ada 3 macam kebutuhan yang penting dalam menentukan prestasi, yaitu:
a. Kebutuhan prestasi.
b. Afiliasi.
c. Kekuasaan. (Sondang, 2004: 167)
Ciri-ciri orang yang berprestasi:
a. Suka mengambil resiko yang moderat. Contoh: dalam pertandingan lompat tinggi, seorang murid akan mengatur jarak start dengan tinggi tiang, nafas, irama langkah dan titik tumpuan untuk mengayun tubuh ke atas melewati batas ketinggian.
b. Memerlukan umpan balik segera. Contoh: seorang murid setelah ujian segera menanyakan kepada gurunya tentang hasil ujiannya, ia membutuhkan informasi tentang hasil pekerjaan guna perbaikan pada saat selanjutnya.
c. Memperhitungkan nilai keberhasilan, tidak peduli pada materi. Contoh: seorang murid yang lebih puas pada nilai intrinsik daripada tugas yang dipanggul.
d. Menyatu dengan tugas. Contoh: murid yang telah terikat oleh tujuan dan komitmen pada dedikasinya, terkadang tidak peduli dengan orang lain bahkan terkesan tidak bersahabat, berpikir realistik sesuai dengan kemampuan dan tidak suka bila ada orang lain yang sama tujuan dengannya. (Miftah Toha, 2003: 326)
4. Teori X dan Y (Douglas Mc Gregor). Dengan asumsi filosofi piramid (antara atasan dan bawahan), menurut Douglas, teori X menyatakan bahwa orang lebih suka diperintah, masa bodoh dengan tanggung jawab, ingin adanya keamanan atas segalanya, artinya agar tumbuh motivasi perlu adanya support dalam bentuk uang, gaji, honor dan ada sanksi hukuman. Contoh: pengawasan dengan kontrol eksternal oleh kepala sekolah terhadap guru-guru. Adapun teori Y menyatakan bahwa manusia memiliki sifat-sifat, yaitu:
d. Menyatu dengan pekerjaannya, ibarat permainan yang memuaskan.
e. Manusia dapat mengawasi dirinya sendiri.
f. Memiliki kreatifitas dalam memecahkan masalah dan didistribusika kepada yang lain.
g. Mampu memotivasi diri. (Miftah Toha, 2003: 243)
Dari sini dapat diketahui bahwa menurut teori X, manusia cenderung untuk bertingkah negatif sedangkan menurut teori Y manusia cenderung untuk bertingkah positif. (Sondang, 2004: 162)
Berbeda dengan Douglas, Cris Argyris menambahkan bahwa teori A dan B sebagai tambahan bagi teori X dan Y. A adalah gambaran dari pola seseorang yang tidak mau terbuka, menolak percobaan, masa bodoh dengan orang lain, sementara B adalah kebalikan dari A. (Miftah Toha, 2003: 244)
Dalam kenyataan sehari-hari, sering nampak adanya kombinasi dari dua macam teori ini, yaitu munculnya teori XB dan YA. XB menyatakan bahwa walau pimpinan itu berpikiran negatif terhadap bawahannya, tetapi ia selalu menolong, mendukung dan memudahkan dengan alasan walau mereka malas dan tidak bisa dipercaya, tetapi dengan berperilaku membantu akan mempermudah mereka menemukan motivasi tersendiri dalam rangka meningkatkan produktifitas karena akan muncul perasaan lain pada mereka, yaitu suatu kondisi yang membantu secara penuh dan kondusif di mana mereka akan merubah sikap sebagaimana yang diharapkan.
Demikian juga dengan YA, mereka akan beranggapan bahwa walaupun orang itu mampu memotivasi diri dan tanggung jawab tetapi mereka tetap harus diperhatikan, diawasi dan diarahkan. Semua kombinasi ini adalah bersifat fleksibel menuju self kontrol yang lebih baik.
5. Teori Dewasa dan Tidak Dewasa (Chris Argyris). Ia menyatakan bahwa ada 7 macam perubahan yang terjadi dalam kepribadian orang yang tidak dewasa menjadi matang, yaitu:
TABEL PERUBAHAN KEPRIBADIAN
TIDAK DEWASA
|
DEWASA
|
Bersikap pasif
|
Bersikap aktif
|
Tergantung kepada yang lain
|
Merdeka
|
Minatnya tidak menentu/dangkal
|
Berminat lebih dalam dan kuat
|
Perspektif waktu dekat
|
Perspektif jarak jauh
|
Posisi di bawah orang lain
|
Posisi setingkat/di atas orang lain
|
Kurang kesadaran atas dirinya
|
Kesadaran dan pengendalian diri
|
Bertindak dengan sedikit cara
|
Bertindak dengan banyak cara
|
Menurut Argis, pengontrolan suatu manajemen dengan batas kontrol individu yang minimal atas lingkungan dan dipicu untuk berbuat pasif, tergantung, serta menjadi bawahan, membuat seseorang bertindak kurang matang, semua itu menutup kematangan mereka hingga akhirnya benar-benar menjadi matang dan dewasa. (Miftah Toha, 2003: 253)
C. Kesimpulan
Perilaku seseorang pada hakikatnya ditentukan oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan, keinginan itu istilah lainnya adalah motivasi. Motivasi inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktifitas sesuai tujuannya. Kekuatan motivasi dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kepuasan kebutuhan.
Perubahan kebutuhan itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang menyebabkan besar kecilnya motivasi yang timbul sesudahnya, pemenuhan kepuasan terhadap sebuah kebutuhan akan memotivasi seseorang untuk beraktifitas lagi mencapai kebutuhan lain yang menjadi tujuan. Perubahan ini akan terus berputar mulai dari hal yang mendasar sampai kepada kebutuhan yang paling tinggi yaitu optimalisasi kemampuan diri. Ada beberapa teori yang dikembangkan oleh para pakar, baik yang berorientasi kepada menjawab pertanyaan mengapa motivasi itu timbul, hingga motivasi ditinjau dari segi prosesnya.
Daftar Pustaka
Abror, Abdurrahman, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993).
Nimran, Umar, Perilaku Organisasi, (Surabaya: Citra Media, 1999).
P. Siagan, Sondang, Teori Motivasi dan Aplikasinya, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2004).
Toha Miftah, Perilaku Organisasi, Konsep dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: raja Grafindo, 2003).